Habis Wisuda Kemana ?
Hati - hati, Sarjana Menganggur Semakin Banyak. Selain itu, ada sekitar 747.553 lulusan SLTA yang saat ini tengah mencari pekerjaan dan mencari perguruan tinggi swasta.
Kalaupun telah diterima di perguruan tinggi swasta, sebagian besar di antaranya bisa dipastikan kalang kabut menyediakan uang masuk dan uang kuliah yang saat ini sudah mencapai jutaan rupiah. Wajarlah bila 62.447 lulusan SLTA bernafas lega setelah lolos dari lubang jarum UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri).
Mereka hanyalah 7,7 persen lulusan baru SLTA tahun ini. Benar-benar pilihan. Akan tetapi diterima di perguruan tinggi pun bukan lantas semua masalah selesai. Juga bila mereka belajar dengan baik dan berhasil menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Memperoleh gelar sarjana pada zaman ini sama sekali bukan jaminan dapat meraih masa depan yang lebih baik. Ketika gelar telah diberikan, ada persoalan yang lebih besar menanti, yakni berburu pekerjaan.
Saat ini ada suatu ketimpangan yang cukup lebar antara program studi di perguruan tinggi dan daya serap lapangan kerja terhadap mereka. Komposisi program studi maupun jumlah mahasiswa tidak cocok dengan angka-angka yang sebenarnya dibutuhkan. Saat ini perbandingan antara jumlah mahasiswa eksakta dengan sosial adalah 24 : 76. Padahal pasar kerja menuntut lain. Selama repelita VI ini diperkirakan akan ada kelebihan sarjana sebesar 25 persen dari 1.510.017 sarjana yang dihasilkan selama kurun waktu itu.
Seperti diduga, kelebihan produksi sarjana ilmu-ilmu sosial sudah tidak tanggung-tanggung lagi. Selama kurun waktu lima tahun mendatang ada kelebihan 80 persen sarjana hukum, 69 persen sarjana humanisme dan 67 persen sarjana ilmu sosial. Sebaliknya untuk ilmu-ilmu murni, misalnya ada kekurangan sampai 49 persen dari jumlah sarjana yang dihasilkan.
Kepala Pusat Informatika Departemen Pendidikan Ace Suryadi mengakui adanya pembengkakan program-program studi IPS (ilmu pengetahuan sosial) dan keguruan yang mengakibatkan terjadinya kelebihan produksi sarjana. Namun demikian, kata Ace Suryadi, saat ini sudah mulai ada kecenderungan yang membaik. Komposisi program maupun jumlah mahasiswa mulai bergerak ke arah keseimbangan. Akan tetapi perubahan dari IPS ke eksakta tidak bisa cepat karena tergantung dari animo masyarakat dan ketersedian sarana, prasarana, maupun dosen-dosennya, tuturnya.
Perkembangan jurusan ilmu-ilmu sosial di indonesia yang sangat pesat, tuturnya karena tujuan orang beajar ke perguruan tinggi pertama-tama masih untuk mengejar status, gelar dan selembar ijazah. Apabila orang ke perguruan tinggi untuk mengejar keahlian, ketrampilan, dan profesionalisme, kecenderungan itupun akan mengecil kata Ace suryadi. Ia menyatakan optimismenya bahwa dengan berkembangnya sektor swasta akan terjadi pergeseran orientasi. Swasta lebih membutuhkan orang yang memiliki keahlian, ketrampilan dan profesionalisme ketimbang gelar dan status. Dengan demikian program-program diploma akan semakin banyak diminati.
Struktur angkatan kerja di Indonesia saat ini masih dominan pada angkatan kerja yang berjenjang pendidikan tamat SD ke bawah. Pada tahun 1992 tercatat 75 persen dari seluruh jumlah angkatan kerja di Tanah Air berpendidikan SD ke bawah. Tingkat pengangguran pada lapisan terdidik, lulusan SLTA ke atas, menunjukkan angka yang cukup tinggi. Bila pada tahun 1990 di tingkat SLTP ke bawah tingkat penganggurannya antara 1,3 sampai 5,4 persen, tingkat pengangguran SLTA ke atas berkisar antara 5,9 sampai 11,9 persen. Pada tahun yang sama, jumlah pekerjaan sektor industri mencapai 10 persen dari jumlah tenaga kerja secara keseluruhan. Akan tetapi lebih dari 8,4 persen berpendidikan SLTP ke bawah
Menurut Ace Suryadi, Tingginya pengangguran di kalangan terdidik merupakan suatu hal yang wajar dalam masa transisi menuju masyarakat industri. Tingkat pengangguran yang tinggi pada kalangan terdidik bukan kesalahan pendidikan tetapi karena pada saat pendidikan berkembang, sektor ketenagakerjaan belum berubah. Investasi ekonomi masih kalah cepat dibandingkan investasi tenaga kerja, tandasnya. Perkembangan sektor ekonomi swasta, kata Ace Suryadi, akan menambah kebutuhan tenaga terampil dan profesional tingkat menengah, baik lulusan SMK (sekolah menengah kejuruan) maupun diploma. Menurut dia, program-program diploma di Indonesia saat ini masih sangat kurang. Padahal kecenderungannya, dunia profesional akan lebih suka menggunakan lulusan diploma karena mereka tidak terlalu teoritas, tetapi praktis dan siap pakai.
Tenaga kerja bergelar sarjana, selanjutnya, sebenarnya hanya dibutuhkan pada sektor yang sudah membutuhkan riset dan pengembangan yang baik. Banyak pihak sampai saat ini tidak percaya, bahwa proyeksi kebutuhan tenaga kerja dapat digunakan dalam perencanaan pendidikan. Alasannya, pendidikan lebih untuk menghasilkan manusia cerdas yang menghayati nilai-nilai kultural yang mendasar. Mengkaitkan antara dunia pendidikan dan pasar kerja, menurut pendapat mereka, tidak akan berhasil karena pendidikan akan selalu bergerak lebih lambat dari kebutuhan tenaga kerja. Namun demikian, melihat ketimpangan yang sudah menjadi-jadi antara lulusan pendidikan dengan daya serap pasar kerja tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pendidikan tidak bisa menutup mata terhadap lulusan yang dihasilkannya. Ace Suryadi mengakui, perencanaan ketenagakerjaan yang sangat akurat tidak akan berhasil. Dan itu tidak perlu karena dalam perencanaan ketenagakerjaan ada prinsip substitusi. Tidak ada dokter, bisa pakai paramedis. Tidak ada paramedis, dukun pun bisa ujarnya memberikan contoh. Ia menandaskan, perencanaan ketenagakerjaan yang bersifat indikatif sangat diperlukan. Tanpa itu tidak mungkin diketahui perlunya porsi mahasiswa sosial dialihkan ke eksakta.
Hati - hati, Sarjana Menganggur Semakin Banyak. Selain itu, ada sekitar 747.553 lulusan SLTA yang saat ini tengah mencari pekerjaan dan mencari perguruan tinggi swasta.
Kalaupun telah diterima di perguruan tinggi swasta, sebagian besar di antaranya bisa dipastikan kalang kabut menyediakan uang masuk dan uang kuliah yang saat ini sudah mencapai jutaan rupiah. Wajarlah bila 62.447 lulusan SLTA bernafas lega setelah lolos dari lubang jarum UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri).
Mereka hanyalah 7,7 persen lulusan baru SLTA tahun ini. Benar-benar pilihan. Akan tetapi diterima di perguruan tinggi pun bukan lantas semua masalah selesai. Juga bila mereka belajar dengan baik dan berhasil menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Memperoleh gelar sarjana pada zaman ini sama sekali bukan jaminan dapat meraih masa depan yang lebih baik. Ketika gelar telah diberikan, ada persoalan yang lebih besar menanti, yakni berburu pekerjaan.
Saat ini ada suatu ketimpangan yang cukup lebar antara program studi di perguruan tinggi dan daya serap lapangan kerja terhadap mereka. Komposisi program studi maupun jumlah mahasiswa tidak cocok dengan angka-angka yang sebenarnya dibutuhkan. Saat ini perbandingan antara jumlah mahasiswa eksakta dengan sosial adalah 24 : 76. Padahal pasar kerja menuntut lain. Selama repelita VI ini diperkirakan akan ada kelebihan sarjana sebesar 25 persen dari 1.510.017 sarjana yang dihasilkan selama kurun waktu itu.
Seperti diduga, kelebihan produksi sarjana ilmu-ilmu sosial sudah tidak tanggung-tanggung lagi. Selama kurun waktu lima tahun mendatang ada kelebihan 80 persen sarjana hukum, 69 persen sarjana humanisme dan 67 persen sarjana ilmu sosial. Sebaliknya untuk ilmu-ilmu murni, misalnya ada kekurangan sampai 49 persen dari jumlah sarjana yang dihasilkan.
Kepala Pusat Informatika Departemen Pendidikan Ace Suryadi mengakui adanya pembengkakan program-program studi IPS (ilmu pengetahuan sosial) dan keguruan yang mengakibatkan terjadinya kelebihan produksi sarjana. Namun demikian, kata Ace Suryadi, saat ini sudah mulai ada kecenderungan yang membaik. Komposisi program maupun jumlah mahasiswa mulai bergerak ke arah keseimbangan. Akan tetapi perubahan dari IPS ke eksakta tidak bisa cepat karena tergantung dari animo masyarakat dan ketersedian sarana, prasarana, maupun dosen-dosennya, tuturnya.
Perkembangan jurusan ilmu-ilmu sosial di indonesia yang sangat pesat, tuturnya karena tujuan orang beajar ke perguruan tinggi pertama-tama masih untuk mengejar status, gelar dan selembar ijazah. Apabila orang ke perguruan tinggi untuk mengejar keahlian, ketrampilan, dan profesionalisme, kecenderungan itupun akan mengecil kata Ace suryadi. Ia menyatakan optimismenya bahwa dengan berkembangnya sektor swasta akan terjadi pergeseran orientasi. Swasta lebih membutuhkan orang yang memiliki keahlian, ketrampilan dan profesionalisme ketimbang gelar dan status. Dengan demikian program-program diploma akan semakin banyak diminati.
Struktur angkatan kerja di Indonesia saat ini masih dominan pada angkatan kerja yang berjenjang pendidikan tamat SD ke bawah. Pada tahun 1992 tercatat 75 persen dari seluruh jumlah angkatan kerja di Tanah Air berpendidikan SD ke bawah. Tingkat pengangguran pada lapisan terdidik, lulusan SLTA ke atas, menunjukkan angka yang cukup tinggi. Bila pada tahun 1990 di tingkat SLTP ke bawah tingkat penganggurannya antara 1,3 sampai 5,4 persen, tingkat pengangguran SLTA ke atas berkisar antara 5,9 sampai 11,9 persen. Pada tahun yang sama, jumlah pekerjaan sektor industri mencapai 10 persen dari jumlah tenaga kerja secara keseluruhan. Akan tetapi lebih dari 8,4 persen berpendidikan SLTP ke bawah
Menurut Ace Suryadi, Tingginya pengangguran di kalangan terdidik merupakan suatu hal yang wajar dalam masa transisi menuju masyarakat industri. Tingkat pengangguran yang tinggi pada kalangan terdidik bukan kesalahan pendidikan tetapi karena pada saat pendidikan berkembang, sektor ketenagakerjaan belum berubah. Investasi ekonomi masih kalah cepat dibandingkan investasi tenaga kerja, tandasnya. Perkembangan sektor ekonomi swasta, kata Ace Suryadi, akan menambah kebutuhan tenaga terampil dan profesional tingkat menengah, baik lulusan SMK (sekolah menengah kejuruan) maupun diploma. Menurut dia, program-program diploma di Indonesia saat ini masih sangat kurang. Padahal kecenderungannya, dunia profesional akan lebih suka menggunakan lulusan diploma karena mereka tidak terlalu teoritas, tetapi praktis dan siap pakai.
Tenaga kerja bergelar sarjana, selanjutnya, sebenarnya hanya dibutuhkan pada sektor yang sudah membutuhkan riset dan pengembangan yang baik. Banyak pihak sampai saat ini tidak percaya, bahwa proyeksi kebutuhan tenaga kerja dapat digunakan dalam perencanaan pendidikan. Alasannya, pendidikan lebih untuk menghasilkan manusia cerdas yang menghayati nilai-nilai kultural yang mendasar. Mengkaitkan antara dunia pendidikan dan pasar kerja, menurut pendapat mereka, tidak akan berhasil karena pendidikan akan selalu bergerak lebih lambat dari kebutuhan tenaga kerja. Namun demikian, melihat ketimpangan yang sudah menjadi-jadi antara lulusan pendidikan dengan daya serap pasar kerja tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pendidikan tidak bisa menutup mata terhadap lulusan yang dihasilkannya. Ace Suryadi mengakui, perencanaan ketenagakerjaan yang sangat akurat tidak akan berhasil. Dan itu tidak perlu karena dalam perencanaan ketenagakerjaan ada prinsip substitusi. Tidak ada dokter, bisa pakai paramedis. Tidak ada paramedis, dukun pun bisa ujarnya memberikan contoh. Ia menandaskan, perencanaan ketenagakerjaan yang bersifat indikatif sangat diperlukan. Tanpa itu tidak mungkin diketahui perlunya porsi mahasiswa sosial dialihkan ke eksakta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar